Penyihir Hitam Baik Hati
Bantengmerah88 | Dapatkan Petir Brutal Dari Zeus Baik Hati
Nenek sihir selalu jahat.
Paling tidak, itu yang selalu diceritakan di buku dongeng. Aku tidak setuju itu. Apa kalian setuju? Baiklah. Itu terserah kalian. Tapi, aku ingin menceritakan sesuatu tentang seorang wanita tua yang bisa sihir. Dan, dia amat sangat baik hati. Perhatikan baik-baik.
Namanya Sybil. Umurnya sudah lebih dari lima puluh tahun. Tapi, Sybil hidup sebatang kara. Sybil adalah anak tunggal dan kedua orangtuanya sudah meninggal. Sybil tinggal di sebuah gubug sederhana si tepi hutan Fardogh, sekitar satu kilometer dari desa Willomyne. Sybil terpaksa tinggal di tepi hutan karena penduduk desa Willomyne tidak mau hidup berdekatan dengannya. Penyebabnya hanya satu: Sybil punya ilmu sihir.
Namun, seperti yang kukatakan tadi, Sybil bukan oang jahat. Sihir yang ia punya adalah sihir putih, sihir yang baik. Sybil sering menolong orang. Selalu… menolong orang. Hanya saja, orang-orang yang ditolong Sybil tidak mau mengakuinya. Hanya ada satu orang yang menganggap Sybil memang wanita tua yang baik. Dia adalah Orvile Mills, anak lelaki kepala desa Willomyne yang masih berumur sebelas tahun.
Orvile sering mencuri waktu tidur siangnya untuk bermain ke tepi hutan Fardogh. Ke mana lagi kalau bukan ke gubug milik Sybil. Dan, jika Orvile ketahuan pergi ke tepi hutan, ayahnya akan mengurung Orvile di dalam rumah selama beberapa hari.
Orvile sendiri sering tidak habis pikir, kenapa penduduk desa sangat membenci Sybil. Padahal Sybil hanya satu kali melakukan kesalahan. Saat itu, desa sedang mengadakan pesta setelah panen buah-buahan. Ada banyak makanan, sirup maple yang manis, dan kembang api. Tapi, yang paling ditunggu-tunggu semua orang adalah pertunjukan buah-buahan. Maksudku, para apel, melon, pisang, persik, dan anggur, benar-benar bisa bergerak dan bicara. Siapa yang membuat para buah itu bicara? Tentu saja Sybil.
Tapi, dua tahun lalu, sebelum pesta dimulai, Sybil merasa kurang enak badan. Ia kelelahan setelah beberapa hari ikut membantu penduduk desa memanen buah-buahan. Jadi, ketika ia mengucapkan mantera untuk menggerakkan para buah itu, Sybil melupakan satu kata. Manteranya menjadi tidak lengkap. Alih-alih beraksi di panggung, para buah itu berlarian tak tentu arah, seolah mengejar orang-orang. Kepala desa marah sekali, penduduk desa juga. Sybil pun diusir dari desa.
Siang ini, Orvile tidak tidur siang. Tidak ada orang di rumah. Ayahnya sedang ke kota untuk menjual pisang dan melon. Ibunya sedang di gudang selai, membantu beberapa wanita di sana mengolah apel menjadi selai. Sedangkan Bonnie, kakak perempuan Orvile, sedang bermain ke rumah temannya. Orvile bebas melenggang ke tepi hutan untuk menemui Sybil.
Apa yang dilakukan Orvile di rumah Sybil? Tidak ada yang spesial. Sybil hanya menyuguhkan kukis beraroma jahe dan segelas cokelat hangat. Sambil memakan kukis, Orvile mendengar Sybil bercerita. Tentang apa saja. Yang paling sering Sybil ceritakan adalah soal sekolah sihir yang dulu pernah ia ikuti. Orvile selalu tertarik dengan cerita itu. Kadang, Orvile membujuk Sybil agar menunjukkan tempatnya. Tapi, Sybil berkata, sekolah sihir itu sudah ditutup bahkan sebelum Sybil menyelesaikan tahun terakhirnya. Entah apa sebabnya.
Hari ini Sybil tidak akan bercerita apa-apa. Sambil membawa keranjang berisi kukis aroma vanila dan sebotol sari buah aple, Sybil mengajak Orvile ke ladang mungil miliknya sendiri, tak jauh dari gubug. Di ladang itu, Sybil menanam berbagai macam tanaman obat. Jika hasilnya melimpah, Sybil akan menjualnya ke kota dan uangnya dipakai untuk membeli bahan makanan lain.
Sybil merentangkan selembar selimut perca di tanah untuk alas duduk. Lalu, ia dan Orvile duduk sambil memakan kukis vanila.
“Sybil,” kata Orvile sambil mulutnya mengunyah kukis. “Maukah kau kembali ke desa?”
Sybil tertawa. “Dan membuat ayahmu kembali murka?!” Sybil tertawa lagi. “Tidak, Orvile. Itu memang tawaran menggiurkan, tapi aku tidak bisa menerimanya.”
Sybil menarik napas panjang, dua kali.
“Karena ya…, mereka membenciku, Orvile. Lagipula, aku senang tinggal di sini. Di sini tenang, dan aku bisa kapan saja menengok ladang mungilku.”
“Tapi, Sybil, aku rindu pertunjukkan buah-buahan itu. Kau membuatnya sangat lucu.”
Sybil tersenyum, lalu mengusap-usap rambut Orvile.
“Aku tahu, Orvile. Aku juga sangat merindukan membuat para buah itu bergerak dan mengoceh layaknya manusia. Tapi, kita tidak bisa berbuat seenaknya, Orvile. Ada orang lain – banyak orang – yang tidak suka menonton hal itu lagi. Kau pasti mengerti itu, Orvile.”
Orvile menunduk. Di tangannya masih ada kukis yang sudah tergigit sedikit.
“Ayolah. Jangan bersedih seperti itu.”
“Kapan aku bisa menonton lagi pertunjukkan itu, Sybil?”
Sybil diam sambil berpikir.
“Begini saja,” sahutnya kemudian. “Aku akan membuat pertunjukkan itu dengan beberapa buah yang kupunya di dapur. Kau bisa mengundang dua atau tiga orang teman sekolahmu. Tapi, kau harus membuat mereka berjanji untuk tidak menceritakannya kepada orangtua mereka. Kau sanggup, Orvile?”
Wajah Orvile berseri senang. Ia mengangguk, menyetujui permintaan Sybil.
“Baiklah. Kau dan teman-temanmu bisa kemari akhir minggu nanti.”
Orvile tersenyum. Namun, dalam sekejap senyumannya hilang ketika ia melihat ada asap membumbung ke langit. Asap itu berasal dari arah desa.
“Sybil. Sepertinya sesuatu sedang terbakar di desa.” Orvile menunjuk ke asap yang makin lama makin tebal membumbung.
Sybil mengikuti telunjuk Orvile, lalu bicara, “Sepertinya memang begitu, Orvile.”
Seperti tersengat lebah bersamaan, Orvile dan Sybil segera membereskan keranjang makanan dan melipat selimut. Keduanya kembali ke gubug. Sybil menyambar tongkat sihirnya dan segera berlari ke desa. Orvile mengikuti Sybil dengan kecepatan penuh.
Sampai di desa, suasana amat kacau. Orang-orang berlarian sambil membawa banyak barang. Tapi, sebagian besar dari mereka sedang membawa ember kayu berisi air ke arah gudang selai.
“Gudang selai?! Ibu?!” pekik Orvile tertahan.
Tanpa bertanya, Sybil tahu, masih ada orang terjebak di dalam gudang. Ada dua orang, kata Sybil dalam hati. Dan, salah satunya adalah ibu Orvile. Sybil bisa mendengar teriakan ibu Orvile. Telinga Sybil sudah terlatih untuk mendengar apa pun dari jarak seratus kaki. Dan, jarak antara gudang dan tempatnya berdiri kali ini, kurang dari seratus kaki. Suara ibu Orvile terdengar jelas di antara jeritan panik penduduk desa.
“Sybil, apinya terlalu besar,” kata Orvile sambil setengah terisak. “Kau harus menolong mereka.”
Sybil tidak perlu berpikir dua kali. Bahkan, tanpa Orvile meminta, Sybil memang akan membantu memadamkan api.
Di belakang gudang selai ada parit kecil yang mengarah ke kebun pisang. Sekarang musim panas, pasti parit itu deras airnya, pikir Sybil. Ketika Sybil hendak mengitari gudang selai, langkahnya terhenti oleh Jacob Mills, ayah Orvile.
“Mau apa kau di sini, Sybil? Kau tidak dibutuhkan di sini!”
Orvile menghampiri ayahnya.
“Ayah. Tolong jangan halangi Sybil membantu.”
“Penduduk desa tidak lagi membutuhkan bantuanmu, Sybil.” Jacob tidak mengindahkan permohonan anaknya. “Kami bisa memadamkannya dengan segera. Jika kau membantu, apinya akan semakin besar.”
“Ibu Orvile masih ada di gudang itu, Jacob,” tegas Sybil. “Aku akan membantumu memadamkan apinya.”
“Ayah!” Orvile berteriak sambil menunjuk sebagian atap gudang yang tiba-tiba runtuh.
Jacob mulai cemas. Begitu pula yang lain. Api semakin besar dan orang-orang mulai kelelahan mengangkut air dengan ember-ember kecil mereka.
Orvile menarik tangan ayahnya. “Biarkan Sybil membantu kita, Ayah.”
Jacob tidak punya pilihan lain. Samantha Mills, ibu Orvile, masih berada di gudang yang terbakar itu. Akhirnya, Jacob mengangguk. Sybil pun segera berlari ke balik gudang, tempat parit itu berada. Jacob, Orvile, dan beberapa orang lagi, mengikuti langkah Sybil.
Sybil berdiri di dekat parit. Memang benar, saat ini, parit kecil itu sangat deras. Sybil mengayunkan tongkatnya, merapal sebuah kalimat mantera. Lalu, pelan-pelan, air parit mulai terangkat. Sybil mengarahkan air parit tersebut ke atas gudang. Ketika tepat di atas bagian gudang yang terbakar, Sybil mengentakkan tongkatnya ke bawah. Dan, air parit pun jatuh. Api mulai padam sebagian. Sybil mengulangi hal itu sampai tiga kali, sampai api benar-benar padam.
Jacob dan beberapa orang pria menghambur ke dalam gudang untuk menyelamatkan Samantha Mills dan satu wanita lagi. Puji Tuhan, dua orang itu selamat. Sybil tersenyum, lalu berbalik hendak pulang ke gubugnya.
“Sybil!” teriak seseorang, dan Sybil tahu, itu suara Jacob. “Mau ke mana?”
Sybil berbalik. “Pulang,” sahutnya.
“Pulang ke mana?” tanya Jacob lagi.
“Ke rumahku, tentu saja, Jacob. Ke mana lagi memangnya?”
“Tapi, rumahmu di sini,” kata Jacob.
“Tidak. Rumahku di tepi hutan Fardogh. Bukan di sini.”
“Tidak apa-apa, Sybil. Kau bisa memiliki kembali rumah lamamu di desa ini,” kata Jacob.
Rahang Sybil melorot. Ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Benarkah?!” gumamnya.
“Iya, benar sekali. Mrs. Watson dan Mrs. Jonas bisa membantu memindahkan barang-barangmu.”
Sybil berpikir sebentar.
“Terima kasih, Mr. Mills. Tapi, maaf. Aku tidak bisa menerima kebaikanmu,” kata Sybil.
“Kenapa, Sybil?” tanya Orvile yang sedari tadi ternyata berdiri di samping Sybil.
Sybil menunduk. “Seperti yang sudah aku bilang tadi, Orvile. Aku sudah nyaman dengan gubug kecilku di sana. Toh jaraknya tidak jauh dari sini. Kau dan juga yang lain, akan selalu aku terima di rumah mungilku itu.” Sybil mencolek ujung hidung Orvile.
Begitulah sedikit kisah dari Sybil, si penyihir baik hati. Sekarang, setiap hari Minggu, halaman rumah Sybil akan dipenuhi anak-anak yang hendak menonton pertunjukkan buah. Dan, tidak ada lagi yang membenci Sybil.
Tulisan FFA lainnya ada di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Dongeng Selengkapnya
0%0% menganggap dokumen ini bermanfaat, Tandai dokumen ini sebagai bermanfaat
0%0% menganggap dokumen ini tidak bermanfaat, Tandai dokumen ini sebagai tidak bermanfaat
Sekolah Penyihir Idle
Nenek Sihir Baik Hati PDF
14 January 2023 1 Song, 3 minutes ℗ 2023 Patent Band